sedang gencar ditayangkan dua iklan layanan
masyarakat di setasiun-stasiun televisi, baik TVRI maupun stasiun televisi
swasta. Iklan yang satu berisi pesan tentang anak asuh dan yang lain melukiskan
kekurangan guru di negeri kita tercinta ini. Walaupun hanya berdurasi beberapa
detik, kedua iklan ini cukup mengundang perhatian, terutama iklan yang
disebutkan terakhir.
Kekurangan guru. Sungguh sebuah realitas potret
pendidikan kita (salah satu sisi) yang sangat menyedihkan. Betapa tidak,
pendidikan adalah modal utama terciptanya kemajuan peradaban sebuah bangsa. Di
pihak lain, guru sebagai tenaga profesional di bidang ini justru jumlahnya
semakin langka.
Lalu, apa jadinya jika pada tahun-tahun mendatang
tidak mudah dijumpai sosok guru? Barangkali Anda semua sudah tahu jawabannya.
Sudah pasti peradapan kebudayaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini
semakin parah daripada kondisi sekarang. Mengapa sampai terjadi kondisi seperti
ini?
KILAS BALIK
Keadaan pendidikan seperti dipaparkan pada bagian
sebelumnya tentu tidak terjadi bagitu saja. Hal itu pasti ada pemicunya.
Penyebab kekeurangan guru yang akan saya paparkan di sini bukan berasal dari
hasil penelitian mendalam, tetapi sekadar pengamatan sekilas dan dugaan.
Penyebab penurunan jumlah sumber daya manusia (SDM), dalam hal ini guru,
akhir-akhir adalah ditutupnya lembaga-lembaga pendidikan keguruan.
Pada paruh pertama tahun 1990-an semua Sekolah
Pendidikan Guru (SPG) dan Pendidikan Guru Agama (PGA) ditutup. Penutupan
lembaga pendidikan tersebut beralasan bahwa jenjang pendidikan dasar sudah
tidak layak lagi diajar oleh guru-guru tamatan SPG yang notabene hanya
berjenjang pendidikan menengah. Sebagai gantinya dibukalah Pendidikan Guru
Sekolah Dasar (PGSD). Selain itu, sebelum penutupan lembaga-lembaga pendidikan
keguruan itu didahului dengan lahirnya sebuah kebijakan yang menetapkan bahwa
lulusan SPG tidak otomatis atau langsung diangkat sebagai pegawai negeri,
kecualai beberapa orang siswa berprestasi pada tiap angkatan.
Akibatnya, banyak lulusan SPG yang beralih ke
profesi lain, misalnya pekerja pabrik atau tambak. Fakta seperti ini sangat
disayangkan karena para siswa SPG adalah siswa pilihan. Lulusan SLTP yang dapat
diterima di SPG adalah siswa yang mempunyai NEM minimum 42,00 dan harus melalui
ujian saringan yang bertahap-tahap. Hal itu menunjukkan bahwa yang dapat d
iterima di SPG adalah manusia-manusia cerdas dan pilihan. Jadi, mereka
sebenarnya adalah tenaga-tenaga potensial.
Berikutnya,
menjelang akhir tahun 2000, semua IKIP di Indonesia berubah menjadi universitas
meskipun masih ada beberapa STKIP dan FKIP di universitas-universitas.
Perubahan status ini tentunya diikuti juga perubahan visi dan misi. Semula
berstatus Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK)sebagai pencetak
tenaga-tenaga pendidik profesional berubah menjadi universitas yang mencetak
sarjana-sarjana ilmu murni. Barangkali kebijakan ini bertujuan untuk mencapai
target sarjana-sarjana andal di bidang IPTEK dalam rangka menyongsong lahirnya
Negara Indonesia sebagai negara maju berbasis teknologi. Obsesi seperti ini
sangat bagus. Akan tetapi, penyakit latah bangsa Indonesia ini sukar sekali
hilang. Artinya, pada waktu kibijakan perubahan status IKIP menjadi universitas
itu disetujui, seharusnya beberapa IKIP di Jawa, Sumatera dan Sulawesi yang
sudah berkualitas tetap dipertahankan. Dengan demikian, jumlah guru nantinya
tetap tercukupi karena sampai kapan pun sektor pendidikan di sebu ah bangsa
tidak akan ditutup. Hal itu berarti bahwa sampai kapan pun tenaga guru masih
dibutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar